Archive for September 2020
Matahari masih malu – malu menampakkan sinarnya saat Sinah meletakkan ember cuciannya di tepi kalen samping rumahku. Seperti biasanya, ia membawa pakaian kotor untuk di cuci di sana.
Kalen, begitu
mesyarakat di tempatku menyebut saluran irigasi yang posisinya persis di
samping kiri rumahku. Bahkan pondasi irigasi tersebut menempel pada pondasi
rumahku. Airnya yang jernih mengalir dari hulu sungai di atas sana untuk
mengairi sawah warga desa. Selain itu, para warga juga memanfaatkannya untuk mencuci pakaian.
Mencuci pakaian di kalen menjadi rutinitas Sinah setiap pagi.
Berangkat pagi – pagi sekali dari rumah. Tapi bisa sampai berjam – jam duduk di
sana. Terkadang emaknya sampai menyusul sambil ngomel – ngomel. Karena cucian
yang ditunggu – tunggu belum pulang – pulang. Bahkan terkadang malah belum dicuci sama sekali. Aku
kadang tersenyum geli karenanya.
Begitu pula pagi itu. Aku
tahu Sinah sudah sejak tadi tiba. Tapi tak juga turun untuk mencuci.
“Nah, Aku duluan yang nyuci yah “, ujarku.
“ Ya”, jawabnya pendek sambil mengangguk. Sama seperti hari – hari
yang lalu.
Segera ku bawa ember besarku yang penuh dengan pakaian kotor.
Maklum anakku masih kecil – kecil. Sedang aktif – aktifnya bermain. Ditambah
lagi kalau keburan di kalen atau di kali, bahkan tak jarang mbelet
di sawah. Membuat cucianku selalu menggunung setiap hari. Beruntung ada kalen
di dekat rumahku. Setidaknya aku tak perlu bersusah payah menimba air di sumur
untuk mencuci.
Satu persatu tetanggaku menyusul membawa ember penuh cucian. Kami
biasa mencuci bergantian karena batu tempat untuk menggilas pakaian jumlahya terbatas.
“Nah kok belum nyuci, tuh batu yang itu kosong gak ada yang pake”,
tegur Zaenab.
“ Nanti dulu lah, Kamu dulu sana”, jawabnya.
“ Nah, dari pada duduk – duduk saja mendingan cepat – cepat
mencuci. Kalo udah selesai kan ayem tinggal pulang “, Zaenab terus saja nyerocos tapi Sinah hanya diam tanpa ekspresi, seperti tidak mendengar. Zaenab pun jadi kesal.
“ Huh, dasar Sinah bocah kurang”, rutuknya
kesal.
Aku hanya tersenyum tipis mendengarnya.
Enggan menanggapinya. Lagian buat apa sih. Sementara Sinah malah tampak
cengar-cengir. Sesaat kemudian kulihat
Sinah beringsut dari tempat duduknya dan melangkah pergi menjauh dari kalen. Entah mau
apa dia. Kali ini Zaenab tampak tidak peduli.
Beberapa saat kemudian Sinah kembali lagi. Kulihat tangannya membawa sesuatu. Setelah dekat baru
jelas kulihat, ia membawa jajan. Pasti dari warung. Kembali ia duduk di pinggir
kalen sambil makan jajan.
“ Kamu lapar ya Nah?” Zainab iseng bertanya.
“ Iya”, Jawab Sinah pendek.
“Emang belum sarapan?”, Zainab iseng bertanya lagi.
“ Belum”, jawabnya lagi.
“ Mak kamu belum masak Nah?” Aku ikut – ikutan bertanya kali ini.
“ Belum”, jawab Sinah lagi.
“Ya belumlah, bukannya Sinah berangkatnya pagi- pagi banget, terang
aja maknya belum selesai masak”, sahut Zaenab. “ Nah, Nah. Kowe bocah kurang apa miring sih’, Zaenab
lanjut mengoceh lagi
Aku yang telah selesai mencuci tak begitu menanggapi ocehan Zaenab. Segera kuangkat emberku dan membawanya ke tempat jemuran baju. Simah masih belum ada tanda – tanda akan turun.
Memang begitulah ia. Darsinah namanya. Tapi orang – orang memanggilnya Sinah. Sekilas ia tampak seperti gadis biasa. Rambutnya dicukur pendek. Ke mana–mana selalu memakai celana. Kadang celana panjang, kadang celana tiga perempat. Menurutku penampilannya cukup rapi dan sopan. Tubuhnya tinggi besar, sepantasnya ia memiliki tenaga yang kuat dan juga gerak yang gesit seperti emaknya. Tapi tidak begitu keadaannya. Ia justru tampak gemulai. Mencuci adalah satu – satunya pekerjaan rumah yang bisa dilakukannya. Bila sudah selesai mencuci ia akan pergi ngendong atau dolan ke mana pun ia suka. Ia senang jika ada yang menyuruhnya metani atau ngaraih uwan. Apalagi jika orang itu memberinya upah uang dua ribuan. Ia akan ketagihan dan terus menerus datang dan magang untuk metani.
Musim kemarau telah tiba. Kali ini cukup parah. Kalen di
samping rumahku kering karena air di sungai mengecil sehingga tidak bisa
dialirkan ke kalen. Aku terpaksa mencuci di sumur. Orang lain memilih mencuci
di kali yang jaraknya lebih jauh . Aku tak bisa mencuci di kali karena tak
mungkin kuat mengangkat ember besarku yang penuh cucian. Belum lagi musti menuruni tanggul kali yang lumayan curam dan juga licin. Lagi
pula jaraknya cukup jauh dari rumah.
Ada sesuatu yang hilang. Kalen di samping rumahku menjadi sepi. Karena tak ada lagi orang yang mencuci di sana. Juga, aku tak lagi melihat Sinah nongkrong di tepi kalen. Tak ada lagi gurauan orang-orang yang meledek Sinah. Dan tak ada lagi Mak yang ngomel gara – gara Simah tidak pulang – pulang membawa cucian.
Hanya sesekali kulihat Simah lewat
di depan rumahku. Tapi eh.. tunggu dulu. Seperti ada sesuatu yang lain pada
Simah. Apa yah? Ah ya, ia kelihatan beda. Sekarang dia terlihat lebih rapi. Rambut
pendeknya tampak disisir rapi. Dan wajahnya tampak sedikit therak-therok karena sapuan talc bedak bayi yang kurang merata.
Beberapa bulan kemudian aku mendengar berita mengejutkan dari Yuni adik iparku.
“Mbak Nani udah dengar belum kalau Sinah masuk rumah sakit”,
katanya.
“ Sinah masuk rumah sakit? Memangnya kenapa?” Jawabku terkejut.
“Katanya sih pendarahan gitu Mbak”, sahut Yuni.
“ Kok bisa yah, padahal kan dia masih gadis. Jangan – jangan......”,
kata – kataku terputus. Aku hanya
membatin apa mungkin Sinah keguguran ?Ah aku tak mau berburuk sangka. Mungkin
saja Simah pendarahan karena suatu penyakit. Bukankah ia tidak seperti gadis
pada umumnya.
“Jangan – jangan kenapa Mbak?” Yuni penasaran mendengar kalimatku
yang terputus.
“Ah nggak apa – apa, kasihan Sinah. Orang tuanya apalagi. Pasti
sekarang sedang kesusahan”, jawabku.
Satu minggu kemudian Sinah sudah bisa dibawa pulang ke rumah. Aku
yang tidak sempat menjenguk di rumah sakit meyempatkan diri menengok di
rumahnya. Saat aku sampai di halaman rumah, kulihat Sinah duduk di kursi yang
diletakkan di teras rumah. Wajahnya tampak pucat, meski demikian ia bersih dan
tampak terawat. Kalau dilihat seksama sebenarnya ia cukup cantik dan menarik.
Kusalami tangannya. “Sudah sehat Nah?”, sapaku.
“Sudah”, jawabnya pendek.
Seperti biasanya ia tak pernah banyak cakap.
Yu Darmi Mak Simah keluar tergopoh
– gopoh menyambut kedatanganku.
“Eh Mbak Nani, masuk Mbak. Jadi ngerepotin”. Katanya.
“Ah nggak juga Yu, maaf nggak sempat nengok waktu di rumah sakit
kemarin”, jawabku.
“ Nggak apa – apa, yang
pentingkan Sinah sudah sehat, sudah boleh pulang”, kata Mak.
“ Kalau boleh tahu, sebenarnya apa yang terjadi pada Simah sampai –
sampai terkena pendarahan begitu”, tanyaku hati – hati. Sungguh aku tak ingin
menyakiti hati yu Darmi dengan pertanyaanku. Tapi aku sangat penasaran.
“Sinah keguguran Mbak, dia... dia diperkosa sampai hamil”, jawab yu
Darmi tebata – bata. Aku benar – benar terkejut mendengarnya. Benar dugaanku
waktu itu.
“ Tapi siapa yang tega melakukannya?” Tanyaku lagi.
“Itulah yang saya bingung Mbak, Mbak Nani kan tahu sendiri Sinah
anaknya kayak gimana. Dia itu kalo ditanya
sering nggak nyambung. Tapi pas pulang dari rumah sakit tadi, dari dalam
mobil dia sempat nunjuk – nunjuk ke arah Slamet yang sedang berdiri di pinggir
jalan. Katanya dia Mak, dia yang nganu aku”. Jawab Yu Darmi.
Kudekati Sinah, aku akan mencoba bertanya langsung kepadanya.
“ Sinah, Sinah masih sakit ?”, tanyaku hati – hati. Sinah
mengangguk.
“ Ini yang sakit”, katanya sambil memegang perut. Sebenarnya aku
ingin berkata, bukannya tadi bilang sudah sembuh. Tapi urung kukatakan. Aku
sadar, Sinah kadang ngomongnya ceblang ceblung.
“Kamu kenapa bisa sakit Nah”,
lanjutku.
“ Aku di..anu.......”, kata – kata Sinah terputus tapi kulihat ia memutar - mutar jari
telunjuknya . Aku tahu maksud Sinah.
Gerakan telunjuk itu merupakan simbol alat vital laki – laki. Aku bergidik
jijik melihatnya. Tapi aku berusaha
bersikap sewajar mungkin. Aku takut menyinggung persaan Yu Darmi.
“ Siapa yang melakukannya?”, tanyaku.
“ Itu............. Selamet,”
jawab Sinah. “Di kalen”, lanjutnya.
“Apa?”, suaraku agak terpekik karena terkejut. Yu Darmi tak kalah terkejut .