• Senin, 31 Agustus 2020


     

    Syahdan suatu ketika KH Umar Abdul Mannan pengasuh pesantren Al muayyad Mangkuyudan Surakarta memanggil lurah pondok. Dengan hati berdebar , sang lurah pun menghadap kyainya. Apa gerangan yang yang hendak dititah oleh sang guru, batinnya.

    Kata kyai : “ Tolong anak – anak yang nakal di catat ya. Terus dirangking Dari yang paling nakal sampai yang sedang – sedang saja,”.

    Sang lurah girang bukan main. Ia memang sedang pusing menghadapi perilaku para santri yang nakal tersebut. Ia mengira sang kyai akan memanggil mereka dan memberikan ta’ziran seberat – beratnya atau bila perlu dikeluarkan dari pondok. Iapun  segera undur diri dan melaksanakan perintah sang kyai.

    Tak berapa lama sang lurah memberikan catatan nama – nama santri yang nakal kepada KH Abdul Mannan. Ia menunggu – nunggu sang kyai memanggil santri – santri tersebut. Tapi apa yang ditunggu – tunggu tak kunjung datang. Hingga ketika genap satu bulan, kyai tak juga memanggil mereka dan lurah itupun habis kesabaran. Akhirnya ia menghadap sang kyai.

    “ Maaf Kyai kalau saya lancang. Kenapa santri – santri yang nakal tidak dipanggil – panggil ? Bukankah mereka seharusnya dihukum atau dikeluarkan ?” tanya sang lurah.

    Sang kyai pun tersenyum demi mendengar pertanyaan sang lurah.

    “ Saya memang meminta daftar anak – anak nakal itu karena ingin menangani sendiri. Tapi bukan dengan cara mengeluarkan. Mereka dikirim ke pondok ini kan dengan tujuan agar mereka berubah menjadi anak – anak baik. Kalau mereka dikeluarkan , apa jadinya  nanti ? Mereka justru akan semakin nakal. Dan itu artinya kita telah gagal mendidik “.

    Sang lurah masih belum mengerti. Lantas untuk apa sang kyai meminta catatan nama mereka ? Sang kyai pun menjawab.

    “ Kamu kan tahu kalau malam saya sholat tahajud. Nah saat itulah saya akan mendo’akan mereka  agar jadi anak – anak yang baik. Dan dalam do’a tersebut, saya akan menyebut nama – nama mereka satu persatu”, Tutur sang kyai.

    Kisah di atas bukanlah sekedar isapan jempol semata. Melainkan cerita nyata yang populer diceritakan dari mulut ke mulut. Kisah ini sering diceritakan oleh para da’i saat menyampaikan taushiyah di hadapan para jamaahnya.

    Dalam cerita tersebut ada istilah ta’zir. Satu budaya yang mengakar di lingkungan pesantren. Ta’zir sendiri merupakan satu bentuk hukuman bagi para santri yang melanggar peraturan. Tujuannya adalah agar mereka menjadi santri yang taat dan disiplin.

    Kata ta’zir berasal dari bahasa Arab yaitu ‘azzaro – yu’azziru ta’ziiron. Artinya mencegah ,  ini juga berarti menolong. Sebagian ulama mengartikan ta’zir sebagai hukuman yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak Alloh dan hak hamba yang tidak ditentukan dalam Alqur’an dan Alhadist. Ta’zir berfungsi memberikan pengajaran kepada si terhukum dan sekaligus mencegahnya untuk tidak mengulangi perbuatan serupa. Sebagian lagi mengatakan sebagai hukuman terhadap perbuatan maksiat yang tidak dihukum dengan hukuman had atau kafarat.

    Di indonesia, istilah ini lazim digunakan  di lingkungan pesantren. Pada umumnya, setiap pesantren membuat sendiri – sendiri bentuk ta’ziran sesuai dengan bentuk pelanggaran yang dilakukan. Peraturan biasanya dibuat oleh pengurus pondok atas persetujuan pengasuh. Terkadang ada juga peraturan yang dibuat sendiri oleh pengasuh.

    Hukuman yang diberikan bisa berbentuk hukuman fisik maupun non fisik. Tentunya dengan pertimbangan tidak membahayakan fisik namun mampu memberikan efek jera terhadap santri. Dan tentu saja hukuman itu bersifat mendidik.

    Hukuman fisik misalnya menyapu halaman pesantren, membersihkan kamar mandi,  dipotong rambutnya sampai gundul dan sebagainya. Hukuman non fisik misalnya membaca alqur’an , membaca sholawat, membaca istighfar, menyalin kitab dengan tulisan tangan , dan sebagainya.

     Dalam memberikan ta’ziran biasanya ada tahapan tertentu. Tidak serta merta santri dihukum. Tetapi ditegur terlebih dahulu. Mungkin santri tersebut lupa atau belum memahami peraturan. Ketika sudah diberi peringatan santri masih saja melakukan pelanggaran, maka pengurus akan memberikan hukuman sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

    Ada juga yang memberlakukan sistem point. Dimana setiap peraturan yang dibuat , maka ada  point pelanggarannya sendiri - sendiri. Saat point pelanggaran mencapai jumlah tertentu, baru diberlakukan ta’zir. Semakin besar point yang didapat, maka hukuman yang didapat juga  semakin berat.

    Untuk memberlakukan sistem ini, maka dibutuhkan buku khusus yang dipegang oleh masing masing santri. Buku tersebut merupakan buku laporan kegiatan santri. Pada tiap kegiatan yang dilakukan, ada laporan. Sehingga ketika santri absen pada salah satu kegiatan, akan terlihat. Dan hal itu merupakan sebuah pelanggaran.  Dari buku tersebut jugalah akan terlihat berapa banyak point pelanggaran yang dilakukan dan menjadi acuan terhadap ta’ziran yang akan diberikan.

    Pada umumnya, ta’zir diberikan oleh pengurus yang berwenang. Ada kalanya pengurus menyerahkan kasus pelanggaran terhadap pengasuh pesantren. Ini terjadi ketika ada santri yang demikian bandel hingga pengurus tidak lagi bisa mengatasinya. Pada saat seperti ini, pengurus tidak lagi ikut campur dengan tindakan yang akan diberlakukan oleh kyai terhadap santri tersebut. Bisa saja pengasuh memanggil santri itu lantas memberikan ta’ziran secara langsung. Atau mungkin memberikan petuah – petuah tertentu sehingga hati santri akan tercerahkan dan sadar dari kesalahannya. Atau bahkan sama sekali tidak memanggil santri tersebut. Melainkan cukup dengan mendo’akan secara khusus santri tersebut.  Cara ini merupakan jalan yang ditempuh secara bathin. 

    Apapun bentuk ta’ziran yang diberikan, semua itu semata – mata untuk menegakkan peraturan pesantren. Ketika peraturan pesantren dipatuhi maka akan tercipta suasan pesantren yang tertib. Hal ini jelas berpengaruh pada jalannya kegiatan belajar mengajar para santri. Mereka akan lebih konsentrasi dan fokus dalam belajar. Tak hanya itu, sistem ta’zir juga akan membentuk pribadi santri yang disiplin dan taat peraturan. Ketika tiba masanya nanti terjun di masyarakat , ia akan menjadi warga yang taat pada hukum dan aturan negara. (Naeli Rokhmah)

     

    { 1 komentar... read them below or add one }

  • - Copyright © Diary Mbak Neli - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -