Archive for Agustus 2020
Syahdan suatu ketika KH Umar Abdul Mannan pengasuh pesantren Al
muayyad Mangkuyudan Surakarta memanggil lurah pondok. Dengan hati berdebar ,
sang lurah pun menghadap kyainya. Apa gerangan yang yang hendak dititah oleh
sang guru, batinnya.
Kata kyai : “ Tolong anak – anak yang nakal di catat ya. Terus
dirangking Dari yang paling nakal sampai yang sedang – sedang saja,”.
Sang lurah girang bukan main. Ia memang sedang pusing menghadapi
perilaku para santri yang nakal tersebut. Ia mengira sang kyai akan memanggil
mereka dan memberikan ta’ziran seberat – beratnya atau bila perlu dikeluarkan
dari pondok. Iapun segera undur diri dan
melaksanakan perintah sang kyai.
Tak berapa lama sang lurah memberikan catatan nama – nama santri
yang nakal kepada KH Abdul Mannan. Ia menunggu – nunggu sang kyai memanggil
santri – santri tersebut. Tapi apa yang ditunggu – tunggu tak kunjung datang.
Hingga ketika genap satu bulan, kyai tak juga memanggil mereka dan lurah itupun
habis kesabaran. Akhirnya ia menghadap sang kyai.
“ Maaf Kyai kalau saya lancang. Kenapa santri – santri yang nakal
tidak dipanggil – panggil ? Bukankah mereka seharusnya dihukum atau dikeluarkan
?” tanya sang lurah.
Sang kyai pun tersenyum demi mendengar pertanyaan sang lurah.
“ Saya memang meminta daftar anak – anak nakal itu karena ingin
menangani sendiri. Tapi bukan dengan cara mengeluarkan. Mereka dikirim ke
pondok ini kan dengan tujuan agar mereka berubah menjadi anak – anak baik.
Kalau mereka dikeluarkan , apa jadinya nanti ? Mereka justru akan semakin nakal. Dan
itu artinya kita telah gagal mendidik “.
Sang lurah masih belum mengerti. Lantas untuk apa sang kyai meminta
catatan nama mereka ? Sang kyai pun menjawab.
“ Kamu kan tahu kalau malam saya sholat tahajud. Nah saat itulah
saya akan mendo’akan mereka agar jadi
anak – anak yang baik. Dan dalam do’a tersebut, saya akan menyebut nama – nama
mereka satu persatu”, Tutur sang kyai.
Kisah di atas bukanlah sekedar isapan jempol semata. Melainkan
cerita nyata yang populer diceritakan dari mulut ke mulut. Kisah ini sering
diceritakan oleh para da’i saat menyampaikan taushiyah di hadapan para
jamaahnya.
Dalam cerita tersebut ada istilah ta’zir. Satu budaya yang mengakar
di lingkungan pesantren. Ta’zir sendiri merupakan satu bentuk hukuman bagi para
santri yang melanggar peraturan. Tujuannya adalah agar mereka menjadi santri
yang taat dan disiplin.
Kata ta’zir berasal dari bahasa Arab yaitu ‘azzaro – yu’azziru
ta’ziiron. Artinya mencegah , ini juga
berarti menolong. Sebagian ulama mengartikan ta’zir sebagai hukuman yang
berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak Alloh dan hak hamba yang tidak
ditentukan dalam Alqur’an dan Alhadist. Ta’zir berfungsi memberikan pengajaran
kepada si terhukum dan sekaligus mencegahnya untuk tidak mengulangi perbuatan
serupa. Sebagian lagi mengatakan sebagai hukuman terhadap perbuatan maksiat
yang tidak dihukum dengan hukuman had atau kafarat.
Di indonesia, istilah ini lazim digunakan di lingkungan pesantren. Pada umumnya, setiap
pesantren membuat sendiri – sendiri bentuk ta’ziran sesuai dengan bentuk pelanggaran
yang dilakukan. Peraturan biasanya dibuat oleh pengurus pondok atas persetujuan
pengasuh. Terkadang ada juga peraturan yang dibuat sendiri oleh pengasuh.
Hukuman yang diberikan bisa berbentuk hukuman fisik maupun non
fisik. Tentunya dengan pertimbangan tidak membahayakan fisik namun mampu
memberikan efek jera terhadap santri. Dan tentu saja hukuman itu bersifat
mendidik.
Hukuman fisik misalnya menyapu halaman pesantren, membersihkan
kamar mandi, dipotong rambutnya sampai
gundul dan sebagainya. Hukuman non fisik misalnya membaca alqur’an , membaca
sholawat, membaca istighfar, menyalin kitab dengan tulisan tangan , dan
sebagainya.
Dalam memberikan ta’ziran
biasanya ada tahapan tertentu. Tidak serta merta santri dihukum. Tetapi ditegur
terlebih dahulu. Mungkin santri tersebut lupa atau belum memahami peraturan.
Ketika sudah diberi peringatan santri masih saja melakukan pelanggaran, maka pengurus
akan memberikan hukuman sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Ada juga yang memberlakukan sistem point. Dimana setiap peraturan yang
dibuat , maka ada point pelanggarannya
sendiri - sendiri. Saat point pelanggaran mencapai jumlah tertentu, baru
diberlakukan ta’zir. Semakin besar point yang didapat, maka hukuman yang
didapat juga semakin berat.
Untuk memberlakukan sistem ini, maka dibutuhkan buku khusus yang
dipegang oleh masing masing santri. Buku tersebut merupakan buku laporan
kegiatan santri. Pada tiap kegiatan yang dilakukan, ada laporan. Sehingga
ketika santri absen pada salah satu kegiatan, akan terlihat. Dan hal itu
merupakan sebuah pelanggaran. Dari buku
tersebut jugalah akan terlihat berapa banyak point pelanggaran yang dilakukan
dan menjadi acuan terhadap ta’ziran yang akan diberikan.
Pada umumnya, ta’zir diberikan oleh pengurus yang berwenang. Ada
kalanya pengurus menyerahkan kasus pelanggaran terhadap pengasuh pesantren. Ini
terjadi ketika ada santri yang demikian bandel hingga pengurus tidak lagi bisa
mengatasinya. Pada saat seperti ini, pengurus tidak lagi ikut campur dengan
tindakan yang akan diberlakukan oleh kyai terhadap santri tersebut. Bisa saja
pengasuh memanggil santri itu lantas memberikan ta’ziran secara langsung. Atau
mungkin memberikan petuah – petuah tertentu sehingga hati santri akan
tercerahkan dan sadar dari kesalahannya. Atau bahkan sama sekali tidak
memanggil santri tersebut. Melainkan cukup dengan mendo’akan secara khusus
santri tersebut. Cara ini merupakan jalan
yang ditempuh secara bathin.
Apapun bentuk ta’ziran yang diberikan, semua itu semata – mata
untuk menegakkan peraturan pesantren. Ketika peraturan pesantren dipatuhi maka
akan tercipta suasan pesantren yang tertib. Hal ini jelas berpengaruh pada jalannya
kegiatan belajar mengajar para santri. Mereka akan lebih konsentrasi dan fokus
dalam belajar. Tak hanya itu, sistem ta’zir juga akan membentuk pribadi santri
yang disiplin dan taat peraturan. Ketika tiba masanya nanti terjun di
masyarakat , ia akan menjadi warga yang taat pada hukum dan aturan negara. (Naeli Rokhmah)
Tradisi Ta ’zir di Pesantren Upaya Tumbuhkan Budaya Sadar Hukum di Kalangan Santri
Tulisan ini merupakan hasil rangkuman dari kegiatan ngaji bareng Fatayat NU PAC Kesugihan yang dilaksanakan setiap hari Sabtu sore di awal dan akhir bulan. Tentu saja telah saya ramu kembali dengan menggali keterangan di syarah kitab Safinah (Kasyifatus Saja) dan juga dari kitab yang lain. Rangkuman ini saya buat atas permintaan beberapa sahabat mengingat pentingnya pengetahuan fiqih dasar bagi para sahabat. Kebetulan untuk pertemuan kali ini sampai pada fasal yang menerangkan tentang tata cara memandikan mayit.
Berbicara tentang memandikan jenazah, maka tidak lepas dari hak jenazah yang wajib ditunaikan. Dalam Islam terdapat empat kewajiban bagi seorang muslim terhadap jenazah. Pertama adalah memandikan, mengafani, menyalati, dan menguburkan.
Hukum Memandikan Jenazah Dan Tata Caranya
Memandikan jenazah hukumnya adalah fardu kifayah. Yang artinya bahwa hukum wajib tersebut berlaku bagi setiap muslim di suatu wilayah, namun apabila ada salah satu yang sudah melaksanakan maka gugurlah kewajiban bagi muslim yang lain. Mungkin hal inilah yang menyebabkan sedikit orang yang mau mempelajarinya. Apalagi mereka terlanjur biasa mengandalkan keberadaan dan fungsi kayim yang diangkat oleh pemerintah desa untuk mengurusi kematian.
Tak ada salahnya kita mempelajarinya, karena mungkin suatu saat akan bermanfaat bagi keluarga maupun orang lain. Adapun dalam memandikan mayit Syeh Salim Bin Abdullah Bin Said Bin Sumair Al Hadrami dalam karangannya Safinah Najah ada 2 cara. Yaitu cara minimal dan yang kedua adalah cara yang paling sempurna.
Cara minimal memandikan mayit bahwa paling sedikit memandikan mayit adalah meratakan air ke seluruh badan mayit. Syekh Abi Abdil Mu’thi dalam syarahnya (Kasyifatussaja) menjabarkannya bahwa saat memandikan jenazah menghilangkan najis yang ada di tubuh mayit kemudian menyiramkan air secara merata ke seluruh anggota tubuh. Jika cara ini telah dilakukan dengan baik dan benar, maka jenazah dapat dikatakan telah dimandikan dan kewajiban seorang muslim telah gugur.
Adapun syekh Muhammad Amin Alkurdiy dalam Tanwirul Qulub menjelasakan bahwa satu kali siraman pada prakteknya adalah 3 kali siraman. Siraman pertama dengan air murni, siraman kedua dengan air sabun, siraman ketiga dengan air kapur barus. Jadi tiga kali siraman dengan tiga jenis air ini baru bisa dihitung satu kali. Dengan kata lain saat akan mengulang siraman lagi maka mengulang 3 kali lagi dengan tiga jenis air tersebut ( air murni, air sabun, dan air kapur). Hal ini dilakukan berulang-ulang sampai dirasa cukup (badan mayit bersih dan terasa kesat).
Kemudian Syeh Salim Bin Abdullah Bin Said Bin Sumair Al Hadrami menjelaskan cara memandikan jenazah yang paling sempurna. Yaitu menyempurnakan dengan membersihkan 2 aurat besar ( farji dan anus), membersihkan hidung dan telinga dari kotoran, mewudu’kan mayit, menggosok badan mayit dengan daun bidara, dan menyiram air ke badan mayit sebanyak tiga kali. Orang yang memandikan mayit dianjurkan untuk memakai sarung tangan terutama saat membersihkan kemaluan dan dubur.
Sebagaimana diterangkan di atas bahwa tiga siraman dihitung satu kali dimana masing-masing adalah air murni, air sabun, dan air kapur barus. Dan ketika tiga kali siraman dirasa belum cukup, maka ditambah lagi menjadi 5 siraman, apa bila masih belum cukup juga, maka ditambah lagi menjadi 7 siraman dan seterusnya. Intinya adalah jumlah siraman disunnahkan ganjil.
Niat Memandikan Mayit
Memandikan mayit hukumnya wajib adapun niat memandikan mayit hukumnya sunnah. Sedangkan mewudu’kan mayit hukumnya sunnah akan tetapi niat mewudu’kan mayit hukumnya fardu.
Berikut lafadz niat memandikan dan mewudukan mayit
Niat memandikan jenazah laki-laki
نَوَيْتُ الْغُسْلَ اَدَاءً عَنْ هذَاالْمَيِّتِ ِللهِ تَعَالَى
"Nawaitul ghusla adaa-an 'an haadzal mayyiti lillahi ta'aalaa."
Niat memandikan jenazah perempuan
نَوَيْتُ الْغُسْلَ اَدَاءً عَنْ هذِهِ الْمَيِّتَةِ ِللهِ تَعَالَى
Nawaitul gusla adaa-an 'an haadzihil mayyitati lillaahi ta'aalaa."
Niat mewudukan mayit laki-laki
نَوَيْتُ الْوُضُوْءَ المَسنُونَ لِهٰذَا الْمَيِّتِ لِلّٰهِ تَعَالَى
Nawaitul wudhu-a lmasnuna li hadzal mayyiti lillahi ta’ala
Saya niat wudu yang disunnahkan untuk mayit (laki-laki) ini karena Allah Ta’ala
Niat mewudu'kan mayit perempuan
نَوَيْتُ الْوُضُوْءَ المَسنُونَ لِهٰذِهِ الْمَيِّتَةِ لِلّٰهِ تَعَالَى
Nawaitul wudhu-al masnuna li hadzihil mayyitati lillahi ta’ala
Saya niat wudu yang disunnahkan untuk mayit (perempuan) ini karena Allah Ta’ala
Jenazah yang wajib dimandikan.
Dalam Islam, jenazah yang wajib dimandikan adalah:
1. Seorang muslim atau muslimah
2. Ada tubuhnya
3. Kematiannya bukan karena mati syahid
4. Bukan bayi yang meninggal karena keguguran
Jenazah yang tidak boleh dimandikan.
Dalam Islam juga terdapat jenazah yang tidak boleh dimandikan. Kedua kategori jenazah tersebut adalah jenazah yang mati syahid atau gugur dalam perang melawan orang kafir dalam rangka membela agama Islam. Lalu jenazah yang kedua adalah bayi yang meninggal karena keguguran saat dalam kandungan. Kedua jenazah tersebut tidak boleh dimandikan dan disalati, hanya cukup dikafani kemudian dikuburkan. Akan tetapi bila janin sudah berumur 4 bulan ke atas maka tetap dimandikan dan disholati.
Syarat orang yang memandikan jenazah.
1. Beragama Islam
2. Berakal
3. Baligh
4. Berniat memandikan jenazah
5. Mengetahui hukum memandikan jenazah
6. Terpercaya, amanah, dan mampu menutupi aib
Orang yang berhak memandikan jenazah.
Meski hukumnya fardhu kifayah yaitu wajib bagi siapa pun yang memenuhi syarat, dalam memandikan jenazah terdapat urutan mengenai siapa saja yang lebih berhak untuk memandikannya. Berikut adalah urutan orang yang paling berhak memandikan jenazah laki-laki dan perempuan:
Untuk jenazah laki-laki.
- Laki-laki yang masih memiliki hubungan keluarga, seperti kakak, adik, orang tua, anak laki-laki atau kakek
- Istri
- Laki-laki lain yang tidak ada hubungan kekerabatan
- Perempuan yang masih mahram
Untuk jenazah perempuan.
- Suami. Seorang suami adalah yang paling berhak memandikan istrinya karena suami diperbolehkan melihat seluruh anggota tubuh istrinya tanpa terkecuali
- Perempuan yang masih ada hubungan kekerabatan, seperti kakak, adik, orang tua, anak perempuan atau nenek
- Perempuan yang tidak memiliki hubungan keluarga
- Laki-laki yang masih mahram
Demikian ulasan dari saya, semoga dan bermanfaat. Tentu saja masih banyak sekali kekurangan. untuk itu saya mohon kritik dan sarannya. Wallohu A’lamu Bisshowab. (Naeli Rokhmah)